ISTIHSAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui, sumber
ajaran islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit
demi sedikit dimulai di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah
Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika
itu.
Ternyata tidak semua persoalan yang
dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam
keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau
dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang
kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat
perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci.
Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan
dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh
Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum
ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi
atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam
berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan
tetapi ulama lain menolaknya
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas
tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini
pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan. Dan
adapun runusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah :
- Apa Pengertian Istihsan Menurut Ulama Ushul Fiqih?
- Bagaimana kehujjahan Istihsan?
- Bagaimana Tanggapan Ulama yang Tidak memakai Metode Ijtihad dengan Istihsan ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah
Menganggap sesuatu itu baik, sedangkan menurut Istihsan ulama ushul fiqih
Istihsan Ialah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntutan Qias yang Jali
(nyata) kepada tuntutan Qias yang Khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum Istisnaiya (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela
akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Menurut al-Karkhi yang dimaksud
dengan Istihsan ialah berpalingnya seorag mujtahid dari satu hukum pada satu
masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain, karena ada suatu
pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan.
Menurut Abu Zahra pengertian yang
dukemukakan oleh al-Karkhi ini merupaka pengertian yang paling jelas menggambrkan
hakekat istihsa dan menunjukkan pada asas serta isinya, sebab asas Istihsan itu
adalah menetapkan hukum yang berbeda dengan kaedah umum, karena ada suatu yang
menjadikan keluar dari kaedah umum karena ada suatu yang menjadikan keluar dari
kaedah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan
kehendak syarak dari pada tetap berpegang kepada kaedah itu. maka berpegang
pada Istihsan merupakan cara penetapan hukum yang lebih kuat dalam masalah
tersebut dari pada berpegang kepada kias. Pengertian al-Karkhi itu juga
menggambarkan bahwa istihsan itu bagaimanapun bentuknya dan macamnya secara
relatif merupakan cara beramal dengan
masalah juz’iyyah dalam berhadapan dengan kaedah Kulliyah. Maka seorang faqih
menempuh cara istihsan dalam masalah Juz’iyyah ini supaya tidak tenggelam dalam
ketentuan kias yang pada satu kali menghasilkan ketentuan hukum yang kurang
sesuai dengan jiwa dan maqashid syari’at
Dari pengertian syara’ jelaslah bahwasanya istihsan ada
dua macam ;
1. Pentarjihan qiyas khafi (yang
tersembunyi) atas kias jali (nyata) karena ada suatu dalil.
2. Pengecualia Kasustis (juz’iyyah)
dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
B.
Kehujjahan Istihsan
Kehujjahan istihsan hanya dipakai oleh mazhab
Hanafi dan mazhab maliki, pada hakekatnya istihsan bukan lah sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bukanlah yang pertama dari
kedu bentuknya berdalilkan qias yang tersembunyi yang mengalahkan qias yang
nyata, karena adanya beberapa faktor yang memenangkan yang membuat tenang hati
si mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan
ialah bahwa dalilinya adalah maslahat, yang menuntut pengecualiaan Kasuistis
dari hukum kulli (umum) yang juga disebut dengan segi istihsan.
Dalil yamg dipergunakan yang
menerima kehujjahan istihsan ialah : bahwasanya beristidlal dengan istihsan
merupakan istidlal dengan dasar qias yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan
suatu qias atau qias yang kontradiksi dengannya, dengan adanya dalil yang
menuntut pentajrihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan
mursalah (umum) berdasarkan pengecualian Kasuistis dari hukum yang kulli
(umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
Golongan malikiyah yang dikenal
sebagai golongan yang memakai istihsan mengatakan bahwa 90% ilmu terdapat dalam
istihsan.
Penalaran hukum dengan metode
istihsan ini didasarkan pada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan
Allah untuk mengatur perilakuu manusia, ada alasan logis dan hikmah yang ingin
dicapainya, Allah tidak menurunkan ketentuan dan aturan tersebut secara sia-sia
atau tanpa tujuan apa-ap. Secara Umum tujuan tersebut adalah kemaslahatan
manusi di dunia dan di akhirat, tetapi secara lebih khusus, setiap perintah dan
larangan mempunyai alasan logis dan tujuan masing-masing. sebagian daripadanya
disebut langsung dalam Al-Qur’an atau hadist, sebagain lagi diisyaratkan saja
dan ada pula yang harus direnung dan dipikirkan terlebih dahulu.
Pengunnana metode istinbath hukum
semuanya bertujuan untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasinya.
Masing-masing metide tersebut hanya dipakai selama ia efektif, bila tidak,
perlu dipakai metode lain yang lebih sesuai dan lebih manpu menyelesaikan
permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penetapan hukum
dengan istihsan merupakan suatu jalan keluar dari kekuatan hukum yang
dihasilkan oleh kias dan metode-metode istinbath hukum yang lain.
Dengan demikian penalaran hukum dengan metode istihsan sangat memperhatikan
segi tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan ummat manusia. Dan hal
ini sangat sesuai dengan keadaan masyarakat yang terus berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian penetapan hukum
dengan istihsan mempunyai syarat-syarat tertentu dan tidak semua permasalahan
bisa disesuaikan dengan istihsan. Sesungguhnya istihsan merupakan suatu metode
istinbath hukum yang relevan dengan pembaharuan hukum islam sebab istihsan
memberi kesempatan kepada mujtahid untuk berpaling dari suatu hukum kepada
hukum yang lain karena ada kepentingan khusus.
C.
Tanggapan ulama yang menolak Istihsan
Al-syafi’i adalah ulama yang menolak
Istihsan, karena memandang sebagai cara istinbath hukum dengan hawa nafsu, dan
mencari enaknya saja, al-syafi’i dalam hal ini berkata : siapa yang melakukan
istihsan berarti dia telah membuat-buat syariat, penolakan al-syafi’i itu tentu
besar pengaruhnya dikalangan masyarakat islam apalagi dikalangan islam yang
banyak menganut mazhab al-syafi’i seperti Indonesia.
Sikap al-syafi’i menolak istihsan
itu adalah karena pengikut Abu Hanifah yang berdiskusi dengan beliau tidak
manpu menjelaskan apa yang mereka maksudkan dengan kata itu. boleh jadi mereka
yang berdiskusi dengan al-syafi’i mempergunakan kata istihsan diwaktu mereka
tidak dapat mengemukakan suatu dalil lantaran mereka bertaklid kepada imam
mereka. Tatkala Al-sayafi’i menanyakan hakekat istihsan, mereka tidak dapat
menjawabnya keadan yang demikian menyebabkan ia memahami bahwa istihsan adalah
penetapan hukum sesuai dengan kehendak orang yang melakukannya, artinya apa
yang dianggap baik oleh orang yang melakukan istihsan maka itulah yang
ditetapkannya sebagai hukum, karena mereka memang arti harfiyah dari istihsan
adalah menganggap baik. Jadi penetapan hukum dengan istihsan itu, dalam
pemahaman Asyafi’i, sama sekali tidak mempunyai metode, hanya semata-mata
berdasarkan hawa nafsu. Imam asy-syafi’i
memiliki suatu ruwayat :
Barng
sipa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat,
Alasan yang dikemukakan oleh ulama
yang menolak istihsan.
- syariat adalah nas dan kanduangan nas melalui qias , Bagaimana dengan istihsan? apakah termasuk dari dua macam syarit itu atau berada diluar itu? jika memang termasuk maka tidak perlu di perbincngkan lagi, tetapi jika berada di luar ketentuan itu, berarti Allah meninggalkan persoaln yang tidak ada ketentuan hukumnya, hal ini bertentngan dengan firman Allah :
Apakah manusia mengiera bahwa ia kan dibiarkan begitu saja.
Dengan demikian istihsan yang
ternyata bukan merupakan qias atau penerapan nas bertentangan ayat tersebut.
- Banyak ayat yang menyeruh pada kita agar taat pada Allah dan Rasulnya dan jika terdapat pertentangan di wajibkan kembali kepada kitabullah
- Nabi tidak pernah menggunakan istihsan dalam berfatwa beliau tidak berpendapat dengan hawa nafasu jika ada persoalan beliau menunggu petunjuk dari Allah yang berupa ayat.
- Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas tidak juga memiliki kareteri-kreteria yang dijadikan standar untuk membedakan antara yang hak dan batil.
- Nabi Muhammad SAW tidak berkenaan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah lain dan memberi fatwa dengan istihsan
- Seandinya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid sementara ia tidak berpegang pada asas atau mengcu pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal semata, niscaya boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kitab (al-qur’an) dan sunnah.
PENUTUP
Kesimpulan
Istihsan ialah berpalingnya seorag
mujtahid dari satu hukum pada satu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum
yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki
perpalingan.
Kehujjahan istihsan hanya dipakai
oleh mazhab Hanafi dan mazhab maliki, pada hakekatnya istihsan bukan lah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bukanlah yang
pertama dari kedu bentuknya berdalilkan qias yang tersembunyi yang mengalahkan
qias yang nyata, karena adanya beberapa faktor yang memenangkan yang membuat
tenang hati si mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari
istihsan ialah bahwa dalilinya adalah maslahat, yang menuntut pengecualiaan
Kasuistis dari hukum kulli (umum) yang juga disebut dengan segi istihsan.
Al-syafi’i adalah ulama yang menolak Istihsan, karena
memandang sebagai cara istinbath hukum dengan hawa nafsu, dan mencari enaknya
saja, al-syafi’i dalam hal ini berkata : siapa yang melakukan istihsan berarti
dia telah membuat-buat syariat,
0 komentar:
Post a Comment